Psikologi Sholat

Kualitas shalat seseorang diukur dari tingkat kekhusyu'annya. Shalat
dapat disebut sebagai zikir manalakala orang yang shalatnya itu
menyadari sepenuhnya apa yang dilakukan dan apa yang diucapkan dalam
shalatnya. Karena zikir itu sendiri adalah kesadaran. Lawan dari
zikir adalah lalai, oleh karena itu Quran juga mengingatkan orang
yang berzikir(shalat) agar jangan lalai, "wala takun min alghafilin"
(Q/7:205).

Shalatnya orang yang lalai pasti tidak efektif karena tidak
komunikatif. Hadist riwayat abu Hurairah menyebutkan betapa banyak
orang yang shalat tetapi tidak memperoleh apa-apa selain capek dan
lelah. "Kam min qa imin hazzuhu min shalatihi at ta'abu wa an
nasobu." shalat sebagai zikir bukan kata-kata, ruku' dan sujud
tetapi dialog, muhawarah dan munajat seorang Hamba dengan Tuhannya.
Kuncinya dari muhawarah dan munajat adalah kehadiran hati, "hudur al
qalb" dalam shalatnya.

Jadi khusyu' adalah hadirnya hati dalam setiap aktifitas shalat.
Makna shalat terletak pada seberapa besar kehadiran hati didalamnya.
Imam Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin menyebutkan enam makna batin yang
dapat menyempurnakan makna shalat yaitu (1)Kehadiran hati, (2)
Kefahaman, (3)Ta'zim, mengagungkan Allah SWT (4) Segan, haibah (5)
Berharap, roja (6)Malu.

Disamping enam hal yang bersifat maknawi bagi orang awam masih
dibutuhkan situasi fisik yang kondusif untuk shalat,
agarperhatiannya tidak terpecahsehingga hatinya hadir. Bagi yang
sudah kuat konsentrasinya maka lingkungan fisik tidak lagi menjadi
stimulus yang mengganggu, apa yang bagi orang awam, sesuatu yang
didengar, yang dilihat, justru menarik perhatiannya, lupa kepada
Allah SWT yang sedang diajak berbicara. Demikian juga bagi orang
banyak problem yang tidak halal, ruang gelap, ruang kosong, menutup
mata dan menutup telinga tidak akan membantu mengkonsentrasikan
hatinya kepada Allah SWT, karena dua hal yang bertentangan.

Wassalam, sumber klik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© 2009 - Islam untuk semua | Design: Choen | Pagenav: Abu Farhan Top